Sabtu, 19 Februari 2011

peluang ekspor udang galah

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) adalah jenis udang air tawar berukuran cukup besar dan rasa yang bisa bersaing dengan jenis udang lainnya. Teknologi budidaya udang yang mempunyai capit panjang ini juga relatif sederhana. Namun baru petani ikan di Pulau Jawa dan Bali saja yang mampu membudidayakannya.  Ketersediaan benur, adalah salah satu kendala dalam pengembangan udang ini. Kebutuhan benur nasional yang mencapai 60 juta ekor/tahun, jauh dari kapasitas produksi saat ini yakni sekitar 35 juta ekor.

Rp35.000—Rp50.000/kg
Dari produksi total perikanan budidaya secara nasional pada 2004 sebesar 1,48 juta ton, 488.000 ton di antaranya dihasilkan oleh perikanan budidaya air tawar. Produksi perikanan budidaya air tawar masih didominasi oleh komoditas ikan mas (187.000 ton), nila (98.000 ton), lele (56.000 ton), dan patin (24.000 ton), sedangkan produksi udang galah baru mencapai 290 ton.

Udang galah merupakan salah satu jenis udang air tawar yang dapat ditemukan di hampir semua sungai dan perairan tawar di Indonesia. Dirjen Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan,  Made L. Nurjana mengatakan, teknologi budidaya udang galah sudah cukup dikuasai oleh masyarakat dengan tingkat produktivitas berkisar 1—3 ton/ha.

Harga jual udang galah pun cukup menggiurkan. Udang konsumsi ukuran 20—30 ekor/kg di pasar lokal laku dijual dengan harga Rp35.000—Rp50.000/kg. Namun sayang, daerah pengembangan budidaya udang galah masih terbatas di Pulau Jawa dan Bali serta sebagian kecil Sumatera Selatan. Di luar daerah-daerah tersebut, udang galah diperoleh dari hasil tangkapan di sungai.

Benih menjadi salah satu kendala paling krusial dalam pengembangan budidaya udang galah. “Hal tersebut disebabkan oleh masih terbatasnya unit hatchery yang menghasilkan juvenil yang hanya berkembang di pulau Jawa dan Bali,” ujar Made. Tak heran jika wilayah lain, budidaya udang galah sulit berkembang.

Produksi 1,2 juta Juvenil/Tahun
Balai Benih Udang Galah, Klungkung, Bali, salah satu unit pelaksanaan daerah (UPTD) yang memprioritaskan produksi juvenil udang galah sejak 1984. Produksinya mencapai 1,2 juta ekor/tahun atau 100.000 ekor/bulan, dengan kapasitas terpasang 2 juta ekor/tahun.  Juvenil udang galah mulai dipasarkan sejak umur 35—40 hari yang dipanen secara bertahap. Harga juvenil udang galah di Bali berkisar Rp40—Rp50/ekor, sementara biaya produksinya rata-rata Rp25/ekor.

BBUG Klungkung memiliki stok induk sekitar 3.000 ekor yang setiap tahun selalu  diremajakan. Umur induk yang baik minimal 8 bulan. Setelah daya tetasnya menurun, induk diganti yang baru.

Pemijahan dilakukan secara alami dengan cara memasukkan induk jantan dan betina ke dalam satu kolam. Setelah tiga minggu, induk  diseleksi dan  yang  mengandung telur selanjutnya dipisahkan ke kolam lain. Satu induk biasanya mengandung 20.000 butir telur. Dengan memijahkan 200 ekor induk akan dihasilkan sekitar 400.000 butir telur/siklus.

Tiga hari setelah menetas, larva udang diberi pakan artemia dan pakan buatan berupa campuran telur, tuna yang telah diblender, susu skim, dan terigu. Untuk mencapai fase juvenil diperlukan waktu sekitar 35—40 hari pemeliharaan dengan media air payau berkadar garam 8—10 ppm.

Di Bali, udang galah atau  dikenal sebagai baby lobster  memasok kebutuhan turis mancanegara di derah wisata pantai. Dengan segmen pasar tersebut,  daya serap dan harga udang galah di daerah ini cukup tinggi, yakni Rp40.000/kg dengan ukuran 20 ekor/kg.

Pasar Ekspor Terbuka
Sementara itu, pemilik Gubug Resto Udang Galah Mang Engking, Yogyakarta, Engking Sodikin mengatakan, permintaan ekspor udang galah sudah ada tapi volume produksinya belum mencukupi. Tujuan pasar mancanegara udang galah di antaranya Brunei Darussalam. Jumlah permintaan negara tetangga itu sebanyak 6—8 ton/bulan, tapi  sampai saat ini belum terpenuhi.

Menurut Mang Engking, jangankan ekspor, untuk konsumsi dalam negeri saja masih kurang. “Contohnya saya, untuk memenuhi kebutuhan udang galah tiga resto di Yogyakarta saja sangat susah, sehingga saya harus mencari hingga Jawa Barat,“ ujarnya.

Ditambahkan Engking, tren permintaan udang galah terus meningkat. “Untuk pasar domestik, potensi pasarnya mencapai 10.500 ton/tahun. Kebutuhan lokal Yogyakarta saja diperkirakan sekitar 6—8 ton/bulan dan baru terpenuhi sekitar 5 ton saja,” katanya lagi. Pengusaha resto ini sangat yakin udang galah mampu menarik konsumen restonya. Untuk itu ia merencanakan membuka resto di  Surabaya, Semarang, Purwokerto, Bandung, dan Depok (Jakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar